Kamis, 01 Oktober 2009

Kebudayaan Indonesia Vs Malaysia

indosiar.com, - Indonesia dan Malaysia. Hubungan kedua negara mencatat sejarah panjang dan mengalami pasang surut. Belum reda masalah-masalah sebelumnya, kini silang sengketa masuk ke wilayah budaya. Beberapa produk seni budaya bangsa Indonesia, konon diakui sebagai milik Malaysia, salah satunya Reog Ponorogo. Reaksi protes langsung bermunculan di tanah air, dan seperti biasa, harmonisasi hubungan kedua negara menjadi taruhannya.

Segmen 1

Inilah kesenian Reog. Masyarakat di tanah air sudah sangat mengenalnya sebagai kesenian khas daerah Ponorogo Jawa Timur, dan sering ditampilkan pada acara-acara tertentu, seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar nasional. Dalam perkembangannya, kesenian warisan leluhur ini, menjadi daya tarik para wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara.

Kini Reog ramai dibicarakan. Malaysia, negara tetangga, mengklaim kesenian tradisional yang telah mengakar dalam masyarakat kita ini, sebagai milik mereka, sebagaimana disebut dalam Website Kantor Kementerian Kebudayaan, Kesenian Warisan Malaysia, www dot herytage dot gov.my.

Dalihnya, seni tari barongan, demikian mereka menyebut, jenis kesenian melayu dan harus dilindungi. Klaim sepihak ini, keruan saja, memicu protes dari banyak kalangan di tanah air, terutama mereka yang selama ini berkecimpung dalam kesenian Reog. Beberapa hari lalu, mereka, mengatasnamakan Paguyuban Reog se Indonesia, mendatangi kantor Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, menyampaikan protes mereka.

Informasi yang berkembang tak hanya reog yang diklaim negeri jiran tetangga itu, tapi juga Tari Piring, Kuda Kepang, bahkan permainan Congklak. Semua dikemas sedemikian rupa dan diganti namanya, sekedar beda dengan aslinya.

Konflik dengan Malaysia, bukan kali ini terjadi. Sejarah panjang mencatat, hubungan dua negara tetangga memang terus mengalami pasang surut. 

Berbagai peristiwa mewarnai panas dinginnya hubungan itu. Banyak kalangan masih ingat, bagaimana kelompok separatis asal Aceh, mendapat suaka di negeri itu. Rebutan Pulau Sipadan Ligitan, juga masih menjadi luka bangsa, apalagi jika membicarakan nasib tenaga kerja kita di sana. 

Sejarah bahkan mencatat di tahun 1963, kedua negara terlibat konfrontasi, saat negeri tetangga ini mengobarkan ambisi bernama proyek Malaysia, ingin membentuk negara federasi yang konon akan meliputi meliputi Babah, Serawak, Singapura bahkan Brunai. Buntutnya, Presiden Soekarno geram dan memutuskan hubungan negara Malaysia, sampai kemudian terjalin lagi beberapa tahun setelahnya.

Karena itu, kisruh urusan caplok mencaplok seni budaya oleh Malaysia ini, justru menumbuhkan tanda tanya bagi bangsa ini, apa sebenarnya maksud negeri jiran tetangga satu ini?. 

Malaysia, dianggap telah sengaja memantik api dan membuka lagi luka-luka lama. Kemarahan masih belum reda saat Donald Pieters Luther Kolopita, seorang wasit karate asal Indonesia, dianiaya 4 anggota Polisi Diraja Malaysia dalam sebuah razia. 

Dalam banyak masalah, konflik kebanyakan dipicu sang tetangga. Ambil contoh masalah TKI di sana, tak terhitung kasus penganiayaan, penangkapan, pelecehan sampai pemerkosaan. Tak heran, kadang, kita jadi geram sendiri, termasuk melihat sikap kompromis pemimpin kita selama ini. 

Segmen 2

Silang sengketa Indonesia dan malaysia kali ini, memang seperti memasuki babak baru, dalam persoalan seni budaya. Berbeda dengan sebelumnya, yang lebih banyak karena masalah politik, batas wilayah dan ketenagakerjaan. Karena itu wajar, kalau masyarakat kalangan di tanah air bertanya, apa sebenarnya maunya Malaysia.

Ya. Sengketa di bidang budaya, memang hal baru dalam konteks perselisihan Indonesia dan Malaysia. Langkah Departemen Pariwisata Malaysia memasukkan lagu Rasa Sayange sebagai jingle promosi pariwisata, bersama keragaman seni budaya Indonesia lain sebagai aset budaya mereka, dianggap telah mencederai nilai-nilai persahabatan sebagai dua negara bertetangga, dan lahir dari rumpun yang sama. Melayu. 

Adalah masyarakat Maluku pula yang pertama bereaksi, sampai akhirnya menjalar ke sejumlah daerah, dan ujung-ujungnya, membuka lagi berbagai luka lama yang mengarah pada sikap anti pati pada negara tetangga ini. 

Apalagi belakangan terungkap, bukan hanya lagu Rasa Sayange yang diklaim Malaysia, tapi juga beberapa seni budaya lainnya, seperti angklung, seni batik yang jelas-jelas tumbuh dan berkembang di tanah Jawa sejak zaman nenek moyang.

Seni batik yang merupakan warisan budaya bangsa kita juga menjadi sasaran Malaysia. Kendati sedikit berbeda motif dan corak, tapi esensi batik Malaysia memiliki ada kemiripan dengan batik Indonesia.

Seni wayang golek tak ketinggalan, ikut pula diakui Malaysia, bahkan dijadikan logo promosi dalam brosur, seperti terlihat di salah satu hotel di Kuala Lumpur, Malaysia.

Dari sinilah, muncul pemahaman masyarakat di tanah air, klaim sepihak Malaysia atas berbagai karya seni budaya leluhur bangsa Indonesia ini, memunculkan pertanyaan, apa maunya negara tetangga kita ini. Karena itu bisa dipahami, kalau masyarakat menyikapinya dengan agak emosional.

Segmen 3

Menghadapi situasi seperti ini, kearifan langkah pimpinan kedua negara memang sangat diperlukan, karena bagaimanapun, prinsip saling membutuhkan antar kedua pihak tetap harus lebih dikedepankan.

Membicarakan kebudayaan Malaysia, tak lepas dari sejarah panjang kehadiran warga negara Indonesia di Malaysia, yang sebenarnya sudah lama, jauh sebelum negara itu memproklamirkan kemerdekaannya 50 tahun silam. Banyak warga Indonesia, terutama dari Suku Bugis, Minang dan Jawa, menetap bahkan telah berganti warga negara. 

Apalagi di tahun 1971 pemerintah Malaysia menetapkan kebijakan ekonomi baru, membuka lebar lapangan kerja bagi warga Indonesia, terkait dengan menguatnya pengaruh komunis ketika itu. Bersama warga serumpun Melayu, Malaysia bahu membahu menghalaunya.

Tapi, itu cerita lama. Beberapa kawasan kini dikenal menjadi pusat pemukiman warga Indon dan menjadi simbol harmonisnya hubungan kedua negara seperti di Kampung Chow Kit, Kampung Baru, Bukit Bintang Selatan atau Kampung Pandan dan Kajang, kini justru menjadi pusat pertikaian. Pasukan Sukarelawan Malaysia yang disebut “Rela”, setiap hari seliweran berkeliling memburu orang Indonesia yang mereka anggap sebagai pendatang haram. 

Pasukan Rela yang awalnya bertugas membantu polisi dan imigrasi, dalam perkembangannya banyak menangani warga negara asing, terutama warga negara Indonesia yang mereka anggap masuk ke Malaysia dengan status pendatang haram. 
Praktek di lapangan mereka tak hanya terlibat penangkapan, tapi juga penganiayaan sampai pemerkosaan. Kerja serampangan tak hanya mengenai TKI, tapi juga mahasiswa, bahkan keluarga diplomat.

Pada aspek lain, kehadiran warga Indonesia di Malaysia, menciptakan pembauran budaya. Mereka yang datang membawa aneka ragam seni tradisional daerah asal, termasuk Reog, angklung dan beberapa jenis seni budaya lain. 

Masalah muncul, ketika Malaysia, dalam banyak kesempatan, menggunakan seni budaya asal Indonesia ini, untuk kepentingan pariwisata mereka. Inilah yang memunculkan tudingan, negara itu telah mencaplok kebudayaan asli Indonesia, walau belakangan klaim itu mereka bantah.

Wakil Ketua DPR RI yang membidangi masalah ini, Muhaimin Iskandar melihat, kisruh seperti ini, tidak lepas dari kesalahan kita sendiri, yang kurang memahami pentingnya perlindungan atas karya cipta yang kita miliki sebagai bangsa. 

Banyak yang belum paham, bahwa sesuai Undang-undang Hak Cipta, sebuah karya cipta seni, legalitas kepemilikannya dibatasi waktu.

Karena itu, hal-hal seperti ini diharapkan menjadi pelajaran bagi semua pihak terkait, termasuk pemerintah Indonesia. Pemerintah harus pro aktif mengambil langkah, agar kedaulatan kita sebagai bangsa tidak bisa semena-mena diganggu bangsa lain, tak kecuali mereka yang mendengung-dengungkan saudara serumpun. (Firdaus Masrun/Sup)